Layar Terkembang



Karya St. Takdir Alisyahbana
MENURUT PENDAPAT PARA PEMINAT dan para kritikus sastra, Layar Terkembang adalah roman terbaik dari tangan penulisnya St. Takdir Alisyahbana setelah melalui roman-roman kecil bersifat kedaerahan Tak putus dirundung Malang (1920), Dian Yang Tak Kunjung Padam dan Anak Perawan di sarang Penyamun (1932 dan 1941). Roman ini juga mengambil tempat berlaku di pusat kota, yang pada masa itu bernama Betawi, at.
Batavia lengkap dengan nama-nama jalan atau gang berbahasa Belanda, seperti: Berendrechtslaan, Molenvliet West, Harmonie dan sebagainya, yang masih tetap dalam cetakan terbaru ini tidak berubah dengan nama-nama jalan baru, karena memang harus sesuai dengan lukisan-lukisan peristiwa masa itu.
Layar Terkembang terbit pada pertama kalinya tahun 1936 (ada juga yang mencatat 1937), dan pada tahun 1938 sudah mengalami cetak ulang, sedangkan buku yang saya bicarakan ini sudah cetakan ke VIII dengan catatan tahun 1962. Dan kalau buku ini tidak terlarang untuk beberapa waktu, karena situasi politik pasti sekarang sudah cetakan ke-IX atau ke-X, karena buku ini pun pernah tercatat sebagai buku wajib untuk bacaan sastra di sekolah-sekolah menengah atas.
Roman Takdir ini dapat melengkapi "empat besar” yang terbit sebelum perang, yaitu: Siti Nurbaya Mh. Rusli, Salah Asuhan Abdul Muis, Belenggu/Armijn Pane dan Layar Terkembang/Takdir Alisyahbana, empat roman yang menonjol dan banyak dibicarakan oleh para peminat dan kritikus hingga sekarang.
Ringkasan cerita:
”Tuti dan Maria kakak-beradik, adalah putri-putri harapan orang tuanya (ayahnya, sebab ibunya sudah tak ada) seorang pensiunan wedana yang menetap di Ibukota. Kedua bersaudara ini mendapat pendidikan menengah dan mempunyai watak berlainan satu dengan lainnya. Yang satu, adiknya, lincah dan senantiasa gembira, yang lain, kakaknya, lebih banyak pertimbangan dalam segala hal. Yang seorang masih sekolah dan yang lain sudah menjadi guru. Yang satu tidak tertarik oleh perkumpulan-perkumpulan, yang lain malah menjadi pentolannya. Tuti, kakaknya, selalu sibuk dengan berbagai kongres-wanita.
Di antara kedua mojang jelita ini berdiri Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran, pada waktu itu lebih terkenal dengan sebutan student Geneeskundige Hogeschool atau Sekolah Tabib Tinggi. Sejak lirikan pertama, waktu bertemu di Aquarium antara Maria dan Yusuf sudah ada apa-apanya. Kemudian apa-apa itu setelah melalui perkenalan, pertemuan keluarga, kunjungan yang berkali-kali dari pihak jejaka, segera diikat-eratkan dengan pertunangan. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, hampir pada peresmian nikah, tiba-tiba Maria sakit, sakit parah malaria dan tbc, hingga perlu dirawat di sanatorium Pacet. Dan kemudian meninggal. Tuti yang telah menampik Hambali, karena tidak sesuai untuk dijadikan suami menurut pendapatnya, ternyata tidak menolak Yusuf. Ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama selama ia merawat adiknya sering merenung-renung dirinya: apakah ia
kelak akan jadi perawan tua? Kalau demikian apa sebenarnya tugas seorang ibu bagi masyarakat? Cukupkah kalau ia hanya bergerak di lapangan perkumpulan saja? Dengan pidato-pidato bersemangat menuntut emansipasi? Lagi pulaz bukankah Maria pernah berkata waktu akan meninggal, supaya Tuti kawin dengan Yusuf? Masih terngiang-ngiang di telinga Tuti perkataan adik kandungnya itu.
”Inilah permintaan saya, yang penghabisan, dan saya, saya tidaklah rela selama-lamanya, kalau kakanda masing-masing mencari peruntungan pada orang lain.”
Maria berkata di muka T uti, kakaknya, dan juga di muka Yusuf tunangannya. Tuti tidak berani menolak Yusuf seperti halnya menolak Hambali, karena di samping pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan, juga rasa-hati turut bicara,Yusuf adalah-type-idealnya, dan kalau selama ini ia tidak berani memperlihatkannya, karena Yusuf tunangan adik,-kandungnya. Sekarang si adik kandung itu sudah juga seolah-olah arif, menghalalkan sebelum ia menghadap ke hadirat YME. Hendak apa lagi? Maka diteruskanlah pertunangan ”warisan” ini oleh Tuti. ”Layar” sudah ”terkembang”, untuk berlayar mengarungi lautan kehidupan baru menuju cita-cita: kebahagiaan rumah tangga, yang dalam masa-masa lampau hanya merupakan teori yang didengung-dengungkan di podium, kini mendesak pelaksanaan. Demikian akhir cerita, ditutup oleh pertunangan Tuti dan Yusuf.
Beberapa pendapat mengatakan Takdir kuat dalam pelukisan-pelukisan alam yang liris. Melalui Anak Perawan Di Sarang Penyamun, yang banyak melukiskan kehebatan alam dan kesunyian hutan, yang belum dijamah oleh tangan manusia, dalam Layar Terkembang, pelukisan-pelukisan itu lebih disempurnakan.
Anak perawan Di Sarang Penyamun memang terbit kemudian tetapi penulisannya sudah lebih dulu, jauh sebelum Layar Terkembang. Menarik hati pelukisan-pelukisan tentang pakaian para pelaku, dan tentang alam ketika Maria dan Yusuf bertamasya ke tempat-tempat indah-pemandangannya, demikian kata Takdir antara lain:
”Mereka duduk berdua di atas batu besar yang hitam kehijau-hijauan oleh lumut. Yusuf berjas buka putih dan berdasi sutera yang kemerah-merahan, dibahunya tersandang tali botol-termos yang tergantung pada sisinya di sebelah kiri dan di tangan kanannya dipegangnya topi-helm putih. Maria berblus putih dan roknya yang pendek, tiada berapa jauh melewati lututnya, biru warnanya. Kakinya hanya dibalut oleh kaus yang lebih tinggi sedikit dari mata-kakinya, sedangkan sepatunya ialah sepatu karet putih (mode terbaru masa itu untuk bepergian pen). Di pangkuannya dipegangnya sebuah bungkusan kecil. Kedua-duanya takjub melihat ke hadapan kepada air terjun Dago yang gemuruh berserak terjun dari atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak air yang baru jatuh itu terkumpul di bawah di dalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir di antara batu-batu yang besar menjadi anak air yang deras. Apabila angin bertiup maka melayanglah tempias yang halus dan dingin kepada muka kedua anak muda itu. (L.T. hal 82). Dan Takdir dalam bukunya ini di tiap ada kesempatan, pasti melukis yang serupa itu. Mungkin bagi angkatan sekarang terlalu banyak, membosankan, tapi mau tak mau, kita mengaku juga : Takdir dalam pelukisan-pelukisannya sangat lincah. Dalam pada itu, segi-segi lain pun terpelihara: dialog dan penuturan-penuturan langsung, terasa wajar dan ada usaha untuk tetap dalam keseimbangan. Variasi memasukkan teks pidato agak panjang-panjang menyiarkan syair nasihat yang berpuluh bait.(dibacakan oleh Tuti di muka kongres sebagai protes kaum wanita yang harus menurut saja kehendak kaum pria), dan yang terakhir bentuk surat yang terlalu banyak berbunga-bunga, kiranya pada permulaan roman itu terbit tidak begitu mengganggu, dan semoga saja tak menyinggung perasaan para pemi nat/krikitus sastra penganut ”zakelijk prosa”.
Tapi memang ada yang menganggap roman Takdir Layar Terkembang terlalu keras bertendens.
Penulis Amal Hamzah dalam bukunya Buku Dan Penulis, dengan nada berkelakar, hampir ”mencibir” berkata: ”Layar Terkembang” dapat juga diganti dengan nama ”Perempuan Indonesia Modern” karena, apa yang diceritakan dalam roman ini ialah perjungan seorang perempuan bangsanya itu. Inilah buku yang pertama yang mengupas soal itu agak dalam sedikit. Percintaan Yusuf dan Maria di sini‘ adalah sambilan belaka dan hanya untuk bunga-bunga saja, yang penting ialah jalan pikiran, jalan jiwa, jalan hidup Tuti, kakak Maria perorangan dari perempuan Indonesia modern itu...”
Memang dalam roman itu dikritik oleh Perempuan Indonesia Modern antara lain: paham-paham feodal, anggapan kaum intelek terhadap agama yang tidak sewajarnya. Ini semua melalui tokoh-tokoh Yusuf dan Tuti.
Amal Hamzah sampai menuduh:
”Dengan memakai alasan tonil Sandyakala Ning Majapahit, yang ditulis oleh Sanusi Pane, salah seorang pemuka aliran Timur, St. Takdir melabrak aliran tersebut yang disuruhnya ucapkan dengan perantaraan Tuti. Tuti adalah St. Takdir dalam pakaian perempuan. Demikian Amal (ia tentu hendak menyatakan bahwa Tuti adalah hanya ”tokoh-boneka” hanya terompet dari penulisnya).
Penulis Idrus yang mendapat julukan Pelopor Angkatan 45 di bidang prosa dari para kritikus/penulis buku sastra, berpendapat roman Layar Terkembang Takdir adalah roman yang terlalu banyak mengemukakan ”kebetulan-kebetulan”: Kebetulan Yusuf bertemu kedua kakak-beradik itu di Aquarium, kebetulan mereka bersepeda dan menaruh sepedanya, kebetulan pula dekat sepeda dia, kebetulan waktu pulang menuju arah yang sama, sehingga Yusuf terpaksa menyertai berlama-lama sepanjang perjalanan. Dan yang terakhir kebetulan Maria meninggal  yaa, boleh kita teruskan leretan kebetulan-kebetulan ini, kalau tidak, pasti Tuti jadi perawan tua
Tentang penulis Takdir pribadi? Dr.A. Teeuw penyusun buku ”Volttooid Voorspel“ pernah menyatakan kira-kira Takdir adalah pengarang yang mempunyai keahlian di berbagai segi (yang dimaksud; di samping mencipta roman ia pun menggubah sajak, di samping menulis artikel-artikel kebudayaan ia pun menterjemahkan. Dan yang tak mudah dilupakan juga oleh para pengajar bahasa Indonesia di sekolah-sekolah lanjutan atas lahirnya buku-buku sejenis tata-bahasa dan lain-lain dari tangannya). Kritikus terkemuka Drs. H.B. Jassin pernah pula berkata dalam bukunya Pujangga Baru antara lain: Dia dianggap sebagai jiwa pujangga baru yang penuh dinamik. Karena tulis-tulisannya yang gembira merambah jalan.
Dengan beredarnya kembali buku-buku Sutan Takdir Alisyahbana (kepiitusan Dep. P dan K.) maka pelajaran sastra di sekolah-sekolah (SMA dan yang sederajat) mulai lengkap kembali. Karena bagaimanapun buku-buku karangan penulis ini tidak dapat dihapuskan begitu saja dari khazanah buku-buku Sastra Indonesia; sama halnya dengan buku-bukunya yang bercorak dan bergerak di lapangan bahasa. Kita tidak bisa begitu saja menganggap sepi buku-buku sejenis Tara Bahasa Baru, seperti telah saya katakan tadi, meskipun sekarang telah banyak pula buku semacam itu terbitan kemudian oleh penulis-penulis yang lain.
1967


Sumber Aneka Pustaka, Pembicaraan Buku karya Rusman Sutiasumarga. Balai Pustaka 1986

0 Response to "Layar Terkembang "