Kalau Tak Untung Karya Selasih


KALAU TAK UNTUNG, terbit mula-mula pada tahun 1938. Pengarangnya Selasih, pengarang wanita. Menurut keterangan buku-buku sastra nama ini nama samaran, nama benarnya Sariamin. Sariamin menggunakan nama samaran Seleguri kalau menulis puisi, dan kalau menulis prosa (roman) memakai nama Selasih. Termasuk Angkatan Pujangga Baru. Penulis wanita yang lain yang dapat digolongkan seangkatan Hamidah, nama samaran dari Fatimah. Bukunya berjudul Kehilangan Mestika, terbit lebih dulu dari Kalau Tak Untung, yaitu tahun 1934.

Cerita ringkat Kalau Tak Untung sebagai berikut :

Rasmani dan Masrul sejak kecil berteman akrab. Rasmani anak orang miskin, sedang Masrul anak orang berada. Tapi persahabatan mereka tidak teralang oleh perbedaan keadaan yang bersifat lahiriyah itu. Bersama-sama dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan raganya, rasa kasih antara kedua, kemudian menjadi rasa cinta, yang makin lama makin mendalam.

Masrul diangkat jadi juru tulis di Painan. Sebelum berangkat iaharus berjanji kepada orang tuanya supaya setelah dua tahun suka memulangi Aminah, calon istri pilihan ibunya, anak mamak Masrul. Perjanjian ini diterima oleh Masrul karena didesak dan ia tak dapat mengelak. Tapi sebagai balas janji Masrul minta supaya Aminah diajari membaca dan menulis, supaya kelak kalau telah kawin tidak memalukan. Ibunya menyanggupinya.

Sampai di Painan Masrul minta langsung dengan perantaraan surat kepada Rasmani, yang kebetulan sudah diangkat pula jadi guru suka memberi pelajaran kepada Aminah. Meskipun rasa hati berat rnsmberi pelajaran kepada ”saingan”dalam berebut cinta, tapi akhirnya Rasmani demi kemurnian cintanya terhadap Masrul, mau memenuhi keinginan kekasihnya. Atas keihlasan Rasmanilah, Aminah kelak, mendapat kepandaian membaca dan menulis secukupnya.

Di Painan Masrul bertamu keluarga Guru kepala yang mempunyai gadis cantik dan terpelajar — pandai berbahasa Belanda dan lain-lain, calon istri dokter yang tidak jadi karena kemudian ketahuan terlalu bebas bergaul dengan seorang anak sekolah Mulo. Rupanya dokter itu curiga. Muslina (nama gadis itu), dipakai umpan memancing Masrul dan berhasil. Meskipun Masrul berat kepada Rasmani tidak menolak tawaran gadis cantik dengan orang tua yang berada. Sebelum kawin Marsul minta pertimbangan Rasmani tentang perkawinannya, tapi meskipun Rasmani memberi bayangan mungkin tak akan berbahagia karena keadaan terlalu ”berat sebelah” toh Masrul kawin juga. Kemudian ternyata setelah kawin ia benar-benar tidak berbahagia, istrinya terialu tidak memberi kebebasan hingga bagi Masrul rumahnya itu. Tidak bedanya dengan neraka. Suami istri selalu bertengkar, selalu ribut,karena istrinya hanya mau menang sendiri, bersikap selalu menindahkan, karena segala keperluan rumah tangga sang-mertualah yang menanggung dan ia merasa pula lebih terpelajar dari Masrul,toh dapat juga ia mendapat anak. Peristiwa-peristiwa yang tak menyenangkan ini selalu dikemukakan dalam surat-surat Masrul kepada Rasmani, dan Rasmani kembali demi kecintaannya kepada Masrul, tidak membenarkan kalau Masrul hendak menceraikan istrinya hanya karena tidak dapat mengecap kebahagiaan sebagai yang diharapkan semula. Sudah terlanjur kata Rasmani, akan lebih jelek di mata orang kalau ia menceraikan istri yang sudah mempunyai anak pula.

Masrul mula-mula bertahan, tapi sekali keadaan memuncak dan rupanya tidak tertahankan lagi. Ia pulang setelah menceraikan istrinya, tapi sambil kehilangan pekerjaan, sehingga sekalipun kesempatan terbuka untuk melangsungkan niatnya memulangi Rasmani, (Aminah sendiri sudah bersuami, jadi tidak ada lagi halangan yang memberatkan), tapi toh belum juga Masrul meminta Rasmani secara resmi kepada orang tuanya, dengan alasan belum dapat pekerjaan.

Rasmani sebenarnya merasa jengkel, tapi tentu tak baik kalau dari pihak dia yang mendesak, ia membiarkan diri ”makan hati berulam jantung”. Biarlah ia merana, asal Masrul berbahagia. Suatu harapan tiba-tiba datang. Masrul meminta Rasmani, toh Masrul menangguhkan dulu: ia akan mencari pekerjaan, yang tetap, di Medan, ia tidak mau membawa istrinya kelak serba kekurangan. Tapi setelah sampai di Medan ia tak mudah dapat pekerjaan, sampai setahun ia menganggur sehingga ia tak berani pulang, hanya mengirimkan surat mengatakan antara lain: kalau ada yang datang minta Rasmani, baik diterima saja, karena ia mendapat surat dari istrinya yang lama, supaya kembali. Alasan ini sebenarnya tidak benar, yang benar sampai waktu itu. Masrul sia-sia mendapat pekerjaan yang agak baik (layak) untuk memulai berumahtangga. Masrul tidak mengira bahwa surat yang maksudnya baik itu, kelak akan membawa penyesalan yang tak kunjung putus. Karena seterimanya Rasmani surat‘ Masrul, ia lalu jatuh sakit, yang tak dapat disembuhkan lagi. Ketika Masrul akhirnya dapat pekerjaan dengan upah Rp. 100, sebulan, suatu jumlah pada waktu itu cukup memberi harapan, sudah terlambat waktu Rasmani membaca surat Masrul yang memberi harapan itu, sakitnya sudah mendalam, Rasmani malah merasa sangat dikejutkan oleh perubahan yang tiba-tiba, sakitnya makin parah,akhirnya meninggal.
Waktu Masrul pulang untuk menjemput sang kekasih, ia hanya menjumpai kuburnya. Ada peninggalannya yang hanya menambah pilu dan ”"sesal yang tak berkeputusan” (nama judul bagian buku tersebut kedua dari akhir) berupa sepucuk surat berbunyi:

Kakanda Masrul yang kucintai!

Gantang penuh, bilangan cukup. Adinda tak dapat menanti lagi. Perjalanan adinda sampai ke batas. Badanku lemah,anggota letih, adinda tak dapat meneruskan perjalanan itu. Kalau kakanda membaca surat ini, adinda telah lama tidur, tidur untuk selama-lamanya.
Bukanlah adinda mendahului Tuhan, melainkan perasaan itu telah datang benar pada adinda. Kakanda maafkan kalau ada kesalahan adinda dan relakanlah jerih payah dan sekalian pemberian kakanda serta kasih sayang kakanda yang adinda terima dari kecil adinda. Akan hidup bersama kakanda akan membela kakanda, melayani kakanda, menolong dan meringankan beban kakandamengurut memijid kakanda ketika sakit, menyandar ketika mafi, itulah cita-cita dan angan-angan adinda, akan ganti terima kasih adinda. Tetapi apakah dayaku karena Allah tak hendak menyampaikan maksud itu.

Sekarang kudoakan saja mudah-mudahan gadis yang lain akan pengganti adinda.
Kakanda  adinda tak dapat menulis lagi.

Tinggallah.... selamat

Mani.



Demikian bunyi surat terakhir dari Rasmani kepada Masrul,dan dengan ini tamatlah buku Kalau Tak Untung buah tangan Selasih.
Saya merasa penasaran ingin tahu bagaimana pendapat para redaktur dahulu dalam arsip yang ada di Balai Pustaka. Dan ternyata para penimbang menyambut dengan baik. Penimbang pertama mendiang St. Parnuncakmengatakan antara lain: Suatu
naskah yang dikerjakan sangat baik, orang akan membaca tak jemunya, makin akhir makin terpikat ...  suatu keuntungan lagi bagi Volkslectuur mendapat naskah ini ...
Beliau tidak menunjukkan kelemahan-kelemahannya, kecuali perbaikan kecil-kecil, mengenai kesalahan tik, tentang bahasa dikatakannya: bahasa dengan gaya sederhana dan lancar.

Tapi terdapat salah seorang penimbang yang ada sedikit mengeritik tentang ”karakter” dari tokoh, yaitu Masrul. Dikatakannya tokoh pria utama cerita tersebut benar-benar ”tidak beruntung” tanpa kemanusiaan. Tapi kehidupan sering-sering memberikan individu-individu yang demikian, sering dan tidak jarang ... Tokoh wanita sebaliknya sangat kuat ...
Pendapat ini memang terasa. Masrul mempunyai sifat-sifat yang terlalu kewanita-wanitaan, terlalu halus, hingga mengakibatkan tidak dapat bertindak tegas. Ia tidak dapat menolak kehendak ibunya untuk memulangkan Aminah, baiklah ini dapat diterima pada masa itu ninik-mamak sangat berkuasa atas diri kemenakan dan Masrul tidak mau memberi cela keluarga, tapi Masrul ‘pun tidak menolak ketika ditawari Muslina, padanal berkali-kali ia mengakui dalam dirinya ingin mempersunting teman semasa kecilnya, Rasmani. Dan setelah bebas sama sekali, tidak ada lagi yang menghalangi: Aminah sudah bersuamikan yang lain, istrinya sudah diceraikan toh belum juga berani mengambil sikap tegas, hanya karena belum mempunyai pekerjaan yang nafkahnya cukup, takut membawa istrinya kelak jadi melarat, atau tidak berbahagia. Alasan-alasan inilah yang akhirnya membuat dia sungguh tidak beruntung. Kalau Tak Untung, kiranya harus diteruskan dengan kalimat: bagaimanapun usaha manusia takkan sampai kepada yang dituju. Tapi benarkah Masrul tak kan dapat mencapai apa yang diangan-angankannya. Pasti dapat kalau ia manusia yang kuat dan tegas dalam bertindak. Demikianlah barangkali akan dikemukan oleh pembaca-pembaca dari generasi sekarang. Masrul tidak beruntung semata-mata karena kelemahan hatinya, tapi seperti kata penimbang tesebut: memang dalam kehidupan ada, malah banyak orang, yang gagal karena kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Pengarang Selasih tentu bukan tak mengerti atau keliru menempatkan Masrul di tempat yang terlalu ”lembut” tetapi ia ingin mengemukakan: kegagahan-kegagahan manusia dalam hidupnya tergantung kepada sikap terjang manusia itu sendiri. Tuhan menetapkan setelah membiarkan sampai di mana kemampuan mahluknya. Dan inilah yang kita namakan takdir, ketetapan dari Tuhan.
Tapi bagaimanapun buku karangan Selasih ini, termasuk buku yang banyak dibaca, hingga kini sudah mengalami cetakan ketujuh selama waktu kurang lebih 28 tahun (untuk Indonesia sudah termasuk sangat baik).

1966
Sumber Aneka Pustaka oleh Rusman Sutiasumarga, Balai Pustaka



0 Response to "Kalau Tak Untung Karya Selasih"